Rabu, 30 April 2008

Pernahkah?

Pernahkah mengalami rasa iri dengan kehidupan orang lain? Pernah merasa kalah cantik dari orang lain? Pernah merasa kalah kaya dari orang lain? Pernah merasa kalah beruntung dengan orang lain? Pernah merasa sesuatu yang ada di orang lain begitu bagus dan indah dipandang ketimbang milik kita sendiri?

Makhluk mana di muka bumi ini yang tidak pernah merasakan hal manusiawi itu. Tapi kalau kadarnya berlebihan mungkin akan menyiksa diri sendiri. Itulah yang kini dirasakan oleh orang yang teman dekat saya. No no..bukan saya walaupun 100 % isi blog ini adalah tentang saya. Walaupun saya pernah menerima sebuah email yang berasal dari milis jurusan kuliah saya yang mengatakan bahwa orang yang menceritakan dirinya sendiri adalah orang yang bodoh. Tidak sepenuhnya benar, tapi di zaman serba instan begini kalau kita tidak pandai bertutur tentang diri sendiri maka siapa yang akan tahu tentang diri ini?. Hey tapi kenapa kata-kata di sini berubah menjadi :saya-kamu?. Tidak ada maksud apa-apa, cuma moodnya memang sedang berlangsung saya -kamu.

Kembali lagi pada teman dekat saya. Ia sempat mengatakan bahwa beberapa hari ini tidak bisa tidur. Saya tanya kenapa dan apa pemyebabnya. Ia jawab karena ia memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya membuat saya tergelak ketika tahu jawabnya. Ia tidak bisa tidur karena memikirkan dirinya yang tidak kunjung memiliki jam tangan. Memang saya tahu betul bahwa jam tangannya sudah pensiun karena sudah tak layak pakai. Sambil menyembunyikan gelak tawa saya juga tersenyum miris. Miris karena sebentuk jam tangan mampu membeliakkan matanya sepanjang malam beberapa hari ini. Cerita punya cerita ternyata gajinya yang kecil tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Kebutuhannya memang segudang. Bayar cicilan motor, bayar listrik, biaya hidupnya yang sendirian dan terkadang mengajak makan si pacar. Pacarnya yang tidak pernah mengeluh karena si teman dekat saya "kere". Bayangkan dengan gaji 1,2 juta ia harus membayar begitu banyak tagihan. Pantaslah dia begitu tak bisa memejamkan mata karena tak kunjung memiliki jam tangan.

Lantas saya bandingkan dia dengan saya yang hanya punya jam tangan murahan yang merknya saja lupa. Malah si jam murah ini sudah karatan, dia pun warisan dari sang mama yang rela meminjamkan anak gadisnya sebentuk jam tangan supaya terlihat lebih feminin. Bahkan keinginan saya membeli jam tangan seharga 500 ribuan pun tertunda karena masih jobless. Dia berbalik menertawakan saya, "Ah kamu, jam seharga 100 ribuan saja saya berat membelinya apalagi 500 ribuan. Kamu selalu membeli barang yang mahal" ujarnya. Memang mahal, tapi saya selalu bisa tidur tanpa memikirkan jam tangan impian seharga 500 ribuan.

Tidak ada komentar: